Rabu, 19 Desember 2012

Coffee and love are best when they are hot !


Radit : Part 2

Selonjoran dikamar menikmati mendung siang ini, ditemani Tab pinjeman buat mengedit foto dan segelas kopi. Humm… Rasanya menyenangkan. Sambil pindahin foto – foto  hasil tiga hari dua malam di Jogja. Sepuluh hari yang lalu, lagi – lagi Jogja menciptakan kenangan. Kali ini bukan Vara, tapi Radit. Dan tentunya bersama trafficlight.

Rencana ke Jogja untuk menemui Radit, dan berbagai rencana yang sudah dia siapkan, gagal. Kecewa? Mungkin iya. Tapi seperti yang dia bilang, “jangan dipaksakan”. Dan aku tak ingin memaksakan kekecewaan itu. Hanya nggak bisa bertemu aja kan? Tapi aku masih bisa, ada dan menikmati bersama dua sahabat gila ku. Penasaran, iya. Sitik. Hahaha.. Bertahan… Bertahan untuk nggak menghubunginya. Bertahan untuk nggak kasih tau dia kalau aku udah di Jogja. Entahlah, takut, malu, penasaran, semuanya yang membuatku frustrasi. Sampai sore itu, melihat status di WhatsApp-nya. Cukup bikin tersenyum pas baca. Keinget beberapa waktu lalu, dia yang begitu membanggakan moge-nya, hasil kerja kerasnya selama ini. Mengajakku keliling Jogja bersama moge-nya.

“Tamansari panas banget.” Delapan menit kemudian.
“Di Jogja? Kapan dateng?.” Terbalas satu jam kemudian.
“Tadi pagi..”  hihihi.. bo’ong ding, tadi malem.
“Pulang kapan?
“Besok siang”
“Nanti malem acara kemana? Ketemu?”
“Nanti malem ada yg mw night riding kan? Nanti dikabari deh..”

Kita nggak akan pernah tau rasanya sebelum kita mencobanya. Frustrasi awalnya, pengen banget kasih tau dia kalo aku ada di Jogja. Tapi ternyata, ya cuma gitu aja rasanya. Melangkah mundur perlahan.

“Jadinya?”
“Cabaret show, Mirota. Malioboro. How?”
“Hmm.. maybe aku ikut nite ride aja yah. Malioboro malming gini pasti macet. Kalo udah slese aja kabari lagi”

Sangat, sangat menikmati cabaret show malem itu. Meski dapet bonus diguyur segelas es tape, keguyur seh lebih tepatnya. Sengaja, gak kabarin dia lagi malem itu. Melangkah mundur perlahan, sedikit menenangkan.

Hari terakhir di Jogja, badan masih pengen ada di kasur tapi mata udah kudu melek dan muka udah kudu seger. Dinginnya air pagi itu gak menyurutkan langkahku untuk mandi. Bersemangat lagi nampaknya. Iya, karena ada yang pagi – pagi ngajakin sarapan ma keliling kota. Dia datang! Tapi ajakan itu dengan sangat berat hati, ku tolak. Alasannya? Entahlah. Semangat itu tak sama lagi. Dan aku ke Jogja ini tidak sendirian.

Perbatasan Jogja, aku pamit. Kita sudah pernah berjabat tangan. Tak lagi terpikirkan olehku, tak mengharapkan lagi tuk sampai bergandengan tangan. Selangkah lagi mundur, menjauh.

Sehari. Dua hari. Tiga hari… Tak ada kabar. Tak ada pesan singkat, telpon atau komentar apapun. Semua socmed-nya sepi. YM, WhatsApp, Facebook tak ada yang berubah sedikitpun. Tak ada foto terbaru di Instagram, apalagi Twitter, di DM ku pun nihil. Merindukannya kah? Maybe. Aku bertahan. Tapi entahlah, aku juga gak tau apa yang aku pertahankan. Egois mungkin. Mungkin dia, bertahan pula pada egoisnya.

Apa yang dia pikirkan? Apa yang aku pikirkan? Masih terlalu dini kah untuk memikirkan sebuah hubungan? Masih terlalu dini untuk memikirkan perasaan masing – masing. Ada yang berubah, itu pasti. Tak ada lagi yang mengkomentari hasil fotoku. Ponsel ku tak lagi berdering tuk sekedar pesan singkat atau telpon menanyakan kabar. Simple sih. Tapi cukup ada yang membuat jeda di hari – hari ku, menekuri waktu.

Sepuluh hari berlalu, semakin terkikis. Perlahan kembali pada kondisi sebelum aku mengenalnya. Bersahabat dengan waktu, bersahabat dengan keadaan. Bersahabat dengan hati, bersahabat dengan rasa. Aku menyerah. Jika sudah begini, hanya berpasrah pada andil Tuhan kah? Who knows, next time? Dunno. Aku semakin tenang, semakin mengenangnya. Anggap saja sedikit percikan cat pada kanvas hidupku. Tak terlalu buruk seperti yang lalu. Menikmatinya. Tapi aku menyerah.

Foto editanku ter-upload. Melirik sejenak pada timeline di Instagram. Foto terbaru darinya, ter-upload dua jam yang lalu. Komentar terakhir tiga menit yang lalu. Dia kembali. Dari mana? Masih perlukah tuk cari tahu? Ah, aku lupa pada kopi ku, meneguknya yang tak lagi panas. Sedetik kemudian, ponsel ku berdering, SMS : “Apa kabar, Dek?”

Sejenak teringat tulisan pada tatakan gelas di salah satu CafĂ© di Jogja malam itu, “Coffee and love are best when they are hot”. -