Radit : Part 2
Selonjoran dikamar menikmati
mendung siang ini, ditemani Tab pinjeman buat mengedit foto dan segelas kopi. Humm…
Rasanya menyenangkan. Sambil pindahin foto – foto hasil tiga hari dua malam di Jogja. Sepuluh hari
yang lalu, lagi – lagi Jogja menciptakan kenangan. Kali ini bukan Vara, tapi
Radit. Dan tentunya bersama trafficlight.
Rencana ke Jogja untuk menemui
Radit, dan berbagai rencana yang sudah dia siapkan, gagal. Kecewa? Mungkin iya.
Tapi seperti yang dia bilang, “jangan
dipaksakan”. Dan aku tak ingin memaksakan kekecewaan itu. Hanya nggak bisa bertemu
aja kan? Tapi aku masih bisa, ada dan menikmati bersama dua sahabat gila ku. Penasaran,
iya. Sitik. Hahaha.. Bertahan…
Bertahan untuk nggak menghubunginya. Bertahan untuk nggak kasih tau dia kalau
aku udah di Jogja. Entahlah, takut, malu, penasaran, semuanya yang membuatku
frustrasi. Sampai sore itu, melihat status di WhatsApp-nya. Cukup bikin
tersenyum pas baca. Keinget beberapa waktu lalu, dia yang begitu membanggakan
moge-nya, hasil kerja kerasnya selama ini. Mengajakku keliling Jogja bersama
moge-nya.
“Tamansari panas banget.” Delapan
menit kemudian.
“Di Jogja? Kapan dateng?.” Terbalas
satu jam kemudian.
“Tadi pagi..” hihihi.. bo’ong ding, tadi malem.
“Pulang kapan?
“Besok siang”
“Nanti malem acara kemana?
Ketemu?”
“Nanti malem ada yg mw night riding kan? Nanti dikabari deh..”
Kita nggak akan pernah tau
rasanya sebelum kita mencobanya. Frustrasi awalnya, pengen banget kasih tau dia
kalo aku ada di Jogja. Tapi ternyata, ya cuma gitu aja rasanya. Melangkah mundur
perlahan.
“Jadinya?”
“Cabaret show, Mirota. Malioboro.
How?”
“Hmm.. maybe aku ikut nite ride
aja yah. Malioboro malming gini pasti macet. Kalo udah slese aja kabari lagi”
Sangat, sangat menikmati cabaret show malem itu. Meski dapet
bonus diguyur segelas es tape, keguyur seh lebih tepatnya. Sengaja, gak kabarin
dia lagi malem itu. Melangkah mundur perlahan, sedikit menenangkan.
Hari terakhir di Jogja, badan
masih pengen ada di kasur tapi mata udah kudu melek dan muka udah kudu seger. Dinginnya
air pagi itu gak menyurutkan langkahku untuk mandi. Bersemangat lagi nampaknya.
Iya, karena ada yang pagi – pagi ngajakin sarapan ma keliling kota. Dia datang!
Tapi ajakan itu dengan sangat berat hati, ku tolak. Alasannya? Entahlah. Semangat
itu tak sama lagi. Dan aku ke Jogja ini tidak sendirian.
Perbatasan Jogja, aku pamit. Kita
sudah pernah berjabat tangan. Tak lagi terpikirkan olehku, tak mengharapkan
lagi tuk sampai bergandengan tangan. Selangkah lagi mundur, menjauh.
Sehari. Dua hari. Tiga hari… Tak ada
kabar. Tak ada pesan singkat, telpon atau komentar apapun. Semua socmed-nya sepi. YM, WhatsApp, Facebook
tak ada yang berubah sedikitpun. Tak ada foto terbaru di Instagram, apalagi
Twitter, di DM ku pun nihil. Merindukannya kah? Maybe. Aku bertahan. Tapi entahlah, aku juga gak tau apa yang aku
pertahankan. Egois mungkin. Mungkin dia, bertahan pula pada egoisnya.
Apa yang dia pikirkan? Apa yang
aku pikirkan? Masih terlalu dini kah untuk memikirkan sebuah hubungan? Masih terlalu
dini untuk memikirkan perasaan masing – masing. Ada yang berubah, itu pasti. Tak
ada lagi yang mengkomentari hasil fotoku. Ponsel ku tak lagi berdering tuk
sekedar pesan singkat atau telpon menanyakan kabar. Simple sih. Tapi cukup ada
yang membuat jeda di hari – hari ku, menekuri waktu.
Sepuluh hari berlalu, semakin
terkikis. Perlahan kembali pada kondisi sebelum aku mengenalnya. Bersahabat dengan
waktu, bersahabat dengan keadaan. Bersahabat dengan hati, bersahabat dengan
rasa. Aku menyerah. Jika sudah begini, hanya berpasrah pada andil Tuhan kah? Who knows, next time? Dunno. Aku semakin tenang, semakin
mengenangnya. Anggap saja sedikit percikan cat pada kanvas hidupku. Tak terlalu
buruk seperti yang lalu. Menikmatinya. Tapi aku menyerah.
Foto editanku ter-upload. Melirik sejenak pada timeline di Instagram. Foto terbaru
darinya, ter-upload dua jam yang
lalu. Komentar terakhir tiga menit yang lalu. Dia kembali. Dari mana? Masih perlukah
tuk cari tahu? Ah, aku lupa pada kopi ku, meneguknya yang tak lagi panas. Sedetik
kemudian, ponsel ku berdering, SMS : “Apa kabar, Dek?”
Sejenak teringat tulisan pada
tatakan gelas di salah satu CafĂ© di Jogja malam itu, “Coffee and love are best when they are hot”. -